Sejak berdiri, pemerintah Republik Indonesia kerap berganti-ganti kabinet. Di dalamnya terdapat pelbagai macam menteri, di antaranya menteri pemimpin departemen, pejabat setingkat menteri, dan menteri negara tanpa portofolio alias tidak memimpin departemen.

Pada permulaan pembentukan pemerintahan, para menteri yang tak memimpin departemen itu antara lain: Mohammad Amir, Mr. Sartono; Wahid Hasjim, A. A. Maramis, dan Oto Iskandar Di Nata. Secara sosial politik, orang-orang ini mempunyai latar belakang yang berbeda-beda dan dianggap mewakili pusparagam ideologi di negara yang baru lahir. Kabinet ini hanya bertahan sampai November 1945.

Selanjutnya kabinet dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Dalam kabinet yang bernama Sjahrir I, menteri tanpa portofolio hanya ada satu orang yakni Haji Rasjidi yang menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Agama. Pada Kabinet Sjahrir II, ia mulai menjadi menteri yang memimpin departemen, yakni sebagai Menteri Agama.

Kabinet terus bongkar pasang. Dalam Kabinet Sjahrir III, menteri negara yang tak memimpin departemen muncul lagi. Mereka antara lain Sultan Hamengkubuwono IX, Wahid Hasyim, Wikana si pemuda kiri jaringan Tan Malaka, Sudarsono dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), Tan Po Gwan yang ditugasi untuk urusan peranakan, dan Danudirdja Setiabudi atau EFE Douwes Dekker.

Kabinet Amir, Hatta, dan Orde Lama
Setelah Kabinet Sjahrir III runtuh dan digantikan oleh Kabinet Amir Sjarifuddin I, Sultan Hamengkubuwono IX dan Wikana tetap menjadi menteri Menteri Negara yang tidak memimpin departemen.

Sementara Menteri Negara lainnya dalam kabinet ini antara lain Suja'as yang bertugas untuk Urusan Pangan, Siauw Giok Tjhan untuk Urusan Peranakan, Hindromartono yang dianggap tokoh buruh, Maruto Darusman yang dianggap Kiri, dan Anwar Tjokroaminoto.

Ketika Kabinet Amir Sjarifuddin II berakhir pada Januari 1948 dan digantikan oleh Kabinet Hatta I, Menteri Negara tanpa departemen hanya ada satu, yakni Sultan Hamengkubuwono IX. Beberapa bulan sebelum Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948, Sultan Hamengkubuwono IX diangkat menjadi Menteri Pertahanan.

Memasuki tahun 1950-an, saat kabinet berganti sebanyak sembilan kali, Menteri Negara tanpa Portofolio tetap ada, yang jumlahnya bisa mencapai lima orang dalam sebuah kabinet.

Dalam Kabinet Burhanuddin Harahap yang bermula sejak Agustus 1955 dan berakhir pada Maret 1956, terdapat nama Sutomo alias Bung Tomo. Ia menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran. Lagi-lagi tanpa departemen.

Sedangkan pada era 1960-an, tepatnya pada Kabinet Kerja IV yang berisi sekitar 70 orang menteri dan pejabat setara Menteri, ada beberapa Menteri Negara yang diperbantukan kepada Presiden, yakni Iwa Kusumasumantri dan Oei Tjoe Tat.

Masih di era Orde Lama, tepatnya pada Kabinet Dwikora I, Presiden Sukarno mengangkat lebih dari seratus menteri dan pejabat setingkat menteri. dalam kabinet yang gemuk itu, terdapat pula beberapa menteri tanpa departemen, yakni Menteri Negara Penasehat Presiden dan Menteri Negara yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas).

Sultan Hamid II: Menteri Pembuat Lambang Negara
Salah satu menteri tanpa portofolio yang terkenal adalah Sultan Hamid II dari Kesultanan Pontianak. Ia menjadi menteri yang bertugas membuat lambang negara pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS).

Panitia pembuatan lambang negara yang ia bentuk terdiri dari Mohammad Yamin selaku ketua, dan beberapa anggota yang terdiri dari Palaupessi, Ki Hadjar Dewantara, Mohammad Natsir, dan R.M.Ng Poerbatjaraka. Sang menteri berperan aktif dalam proses pembuatan lambang negara tersebut.

Dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Solichin Salam--wartawan Berita Buana--pada 14 April 1967, Sultan Hamid II menerangkan proses tersebut.

“Saya menambahkan nur, cahaya, berbentuk bintang persegi lima atas masukan M. Natsir sebagai simbol kesatu Pancasila. Juga [menerima] masukan dari R.M.Ng Poerbatjaraka, yakni pohon astana yang menurut keterangannya [merupakan] pohon besar sejenis pohon beringin, yang hidup di depan istana sebagai lambang pengayoman dan perlindungan untuk melambangkan sila ketiga,”

Saat menentukan jumlah bulu ekor garuda yang semula hanya tujuh, R.M.Ng Poerbatjaraka menolaknya. Lalu Palaupessi memberi masukan agar bulu ekor itu jumlahnya menjadi delapan sebagai tanda bulan kemerdekaan Indonesia. Mereka pun bersepakat.

Setelah lambang negara selesai dibuat, Sultan Hamid II justru ditangkap aparat keamanan karena dianggap terlibat dalam aksi Westerling yang hendak membunuh para menteri pada tanggal 24 Januari 1950. Setelah peristiwa itu namanya rusak. Jasanya dalam membuat lambang negara Garuda Pancasila seolah dilupakan.


Harmoko: Menteri Negara Urusan Khusus
Pasca G30S, saat kekuasaan Presiden Sukarno semakin melemah, terdapat Kabinet Ampera I dan Ampera II. Pada dua kabinet ini jumlah menteri tidak terlalu banyak dan Menteri Negara tanpa portofolio atau tanpa departemen sudah tidak dipakai.

Namun, saat Soeharto telah menjadi presiden, jabatan Menteri Negara tanpa departemen muncul lagi dengan nama Menteri Negara Tugas/Urusan Khusus. Tugas atau urusan mereka antara lain pengawasan proyek-proyek pemerintah, pembantu penertiban hankam yang dirangkap Wakil Panglima ABRI, bagian perumahan rakyat, dan lain-lain.

Di pengujung kekuasan Soeharto, tepatnya pada pertengahan 1997, Harmoko yang lama menjadi Menteri Penerangan diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Khusus yang tentu saja tanpa memimpin departemen.

“Sebagai Menteri Urusan Khusus, Harmoko dapat dikatakan disingkirkan dari kekuasaan, sebab tugas utama Menteri Urusan Khusus tersebut memberikan penerangan kepada calon anggota DPR,” tulis Akbar Tanjung dalam The Golkar Way (2007:82). Harmoko mengisi jabatan itu hingga Oktober 1997.