Setelah lulus dari sekolah dasar Hollandsch Inlandsch School (HIS) pada 1915, Iwa Kusumasumantri enggan masuk sekolah calon pamongpraja Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Bandung seperti yang diinginkan ayahnya, Raden Wiramatri. Iwa punya pilihan sendiri. Atas izin orangtuanya, pada 1916 ia pindah ke Batavia dan memilih sekolah yang disukainya.

“Bukan main besar hati saya ketika saya memasuki Recht School atau sekolah menengah hukum di Jakarta ini,” tulis Iwa dalam memoarnya yang bertajuk Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah (2002:19-20).

Selain belajar ilmu hukum dan sejarah, ia juga mulai masuk dunia pergerakan dengan bergabung dalam Jong Java. Sejak tahun 1918, Iwa menjadi salah satu pengurusnya. Meski sibuk berorganisasi, tapi ia tak melupakan sekolahnya. Iwa lulus pada tahun 1921.

Selepas itu, ia bekerja di Landraad (pengadilan negeri) Bandung, kemudian diperbantukan di Raad van Justitie (pengadilan tinggi) Surabaya. Sekali waktu, ia mendengar informasi kesempatan kuliah ke Fakultas Hukum di Leiden bagi para lulusan Recht School Batavia yang sudah bekerja di pemerintahan. Untuk memperdalam informasi tersebut, Iwa pun kembali ke Batavia dan bekerja di kantor Officer van Justitie.

Ketika ia kembali ke Batavia, HOS Tjokroaminoto tengah disidang terkait Peristiwa Cimareme, Garut. Ia menyaksikan persidangan tersebut.

“HOS Tjokroaminoto adalah seorang yang bijaksana. Ia dapat melihat bahwa di dalam Islam juga terdapat unsur-unsur Sosialisme,” tulisnya (2002:28).

Berpolitik di Negeri Penjajah
Dari Tjokroaminoto, Iwa melihat bagaimana Peristiwa Cimareme sejatinya adalah perwujudan dari perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Perlawanan itu terus berulang karena kebijakan pemerintah kolonial yang merugikan rakyat. Hal tersebut membuatnya kecewa dan memutuskan berhenti jadi amtenar.

Ia kemudian memilih sekolah lagi di Leiden. Sebelum berangkat ke Belanda, Iwa sempat kawin gantung dengan Emma Puradireja. Bersama Sartono, Iwa berangkat pada 10 September 1922. Selama di Eropa, hubungan Emma dan Iwa terputus.

Di Belanda, Iwa aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI). Pada 1923, ia terpilih menjadi ketua organisasi tersebut. Di bawah kepemimpinannya, seperti dicatat Ahmad Subardjo dalam Kesadaran Nasional: Sebuah Autobiografi (1978:123), PI mengeluarkan pernyataan keras yang intinya adalah menuntut kemerdekaan Indonesia.

Pernyataan itu oleh Belanda tentu dipandang sebagai sesuatu yang radikal. Artinya, Iwa adalah bagian dari radikalisme orang terpelajar Indonesia.

Setelah tiga tahun kuliah di Universitas Leiden yang ia perjuangkan sambil berpolitik, Iwa resmi menjadi Meester in Rechten. Setelah itu ia tidak langsung pulang ke Indonesia, melainkan menuju Moskow bersama Semaoen pada tahun 1925.


Dari Rusia ke Banda Neira
Di Moskow, Iwa sempat kuliah lagi untuk mempelajari komunisme. Namun, ia merasa tidak cocok dengan komunisme yang diterapkan oleh Lenin dan Stalin. Meski demikian, ia sejalan dengan sikap Tan Malaka yang pernah menjadi pimpinan PKI.

Hal ini dicatat oleh Harry Poeze dan kawan-kawan dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008:176), yakni Iwa pernah memuji PKI. Baginya, saat itu PKI adalah satu-satunya organisasi yang menjaga semangat agar terus hidup di kalangan rakyat.

Di Moskow pula Iwa bertemu dengan Anna Ivanova dan menikahinya. Dari perempuan itu ia memiliki seorang putri bernama Sumira Dingli. Dua tahun berselang, karena semakin tidak cocok dengan komunisme ala Rusia, Iwa akhirnya kembali ke Indonesia tanpa disertai istri dan anaknya.

Ketika tiba di Indonesia, PKI baru saja digulung pemerintah kolonial karena pemberontakan yang gagal pada tahun 1926. Sementara karena kegiatan politiknya saat kuliah di Belanda, ia pun masuk daftar intaian Politieke Inlichtingen Dienst (PID), yakni polisi rahasia kolonial yang mengurusi bidang politik.

Mula-mula ia bekerja di Medan dan sempat mendirikan surat kabar Matahari Indonesia serta memimpin serikat buruh. Ia juga mulai berhubungan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Sukarno yang kemudian diberangus pemerintah kolonial pada 1929.

Bersama Kuraisin, istrinya yang masih terhitung sepupu, Iwa ditahan dan dibuang ke Banda Neira sejak 1930 hingga 1941. Di tempat pembuangan, ia diberi tunjangan sebesar 200 gulden dan turun menjadi 175 gulden ketika terjadi malaise.

Dari Banda Neira, Iwa kemudian dipindahkan ke Makassar. Ia bebas ketika militer Jepang mendarat dan menaklukkan Belanda. Namun, kebebasan itu kembali terancam karena militer Jepang hendak menghabisi orang terpelajar berpendidikan Belanda. Untuk menghindari maut, dari Makassar ia pulang ke kampung halamannya di Ciamis.

Kiprah setelah Kemerdekaan
Tak lama di Ciamis, ia kembali ke Jakarta dan menjalankan firma hukum sampai kekalahan Jepang. Menurut Ahmad Subardjo (1978:254), Iwa sempat berceramah dalam kursus-kursus untuk pemuda yang diadakan militer di bawah pengawasan Laksamana Tadashi Maeda. Sebelum Jepang menyerah, Iwa ditarik menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi Menteri Sosial pertama RI hingga 14 November 1945. Selepas itu, ia bergabung dengan Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka. Tanggal 3 Juli 1946, kelompok ini dianggap melakukan upaya kudeta terhadap pemerintahan Sukarno. Iwa dan para koleganya ditangkap dan dibui hingga 1949.

Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), Iwa menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dan sejak 1953 hingga 1955, ia terpilih sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet Ali Sastroamidjojo. Dua tahun berselang, Iwa menjadi rektor Universitas Padjadjaran di Bandung. Lalu dari tahun 1963 hingga 1964 ia diangkat sebagai menteri yang mengurusi perguruan tinggi.

Tanggal 27 November 1971, tepat hari ini 48 tahun yang lalu, Iwa Kusumasumantri wafat di Jakarta dan dimakamkan di TPU Karet Bivak.