長澤まӕ
|
itu ada di buku halaman brp ketek
長澤まさみ
|
Waow sepersekolahan
Jomblo abdi nan jaya donk
TaenGod
|
numpang disini
Diputer, dijilat, dicelupin
|
Laki-laki dan Pesawat Kertas
Dia mengambil sehelai kertas. Dilipatnya kertas itu menjadi sebuah pesawat. Dibacakannya sebuah puisi (orang-orang menyebutnya mantra). Pesawat kertas itu perlahan-lahan melayang. Berputar-putar di udara. Terbang. Diapun terbang. Dia tak pernah bercita-cita menjadi penerbang. Dia juga tak pernah tahu bagaimana dia bisa terbang. Yang dia tahu, dia seorang pemalu yang lebih suka mencatat keberaniannya dalam buku. Yang mencatat lukanya dalam buku. Yang menciptakan dunia sepinya dalam sebuah buku. Pesawat kertas itu terus terbang. Tinggi. Makin meninggi. Jauh. Makin menjauh. Melampaui imajinasi yang paling tinggi. Melintasi desa-desa tempat kelahiran moyangnya. Sawah-sawah sehijau kedamaian. Bukit-bukit tempat bersemayam roh. Sungai-sungai deras yang kokoh. Pantai-pantai tempat bertemunya laut. Jalan-jalan panjang, hingga kota-kota tempat segala sesuatu dihidup dan dimatikan. Di atas pesawat kertas itu dibacanya puisi. Kepada angin yang tenang, kepada seratus musim hujan yang arif, kepada jajaran pohon mahoni. Juga kepada ribuan lampu kota yang berkedap-kedip. Tentang seorang perempuan penjual tomat sekaligus perajin setia yang ditinggal pergi suaminya, yang melahirkan seorang anak lelaki. Lelaki yang merasa lebih wanita daripada wanita itu sendiri. Lelaki yang mengubah patah hatinya menjadi seribu kupu-kupu cahaya. Berpendar tanpa henti. Tentang segala sesuatu yang akan dan telah usai menjadi cinta. Tentang segala sesuatu yang hidup dan mati karena puisi. Dia dan pesawat kertas itu masih terbang. Terus terbang. Mengabarkan puisi kepada waktu-waktu yang belum pernah disinggahi. (orang-orang mencatatnya sebagai mantra, rumput-rumput mengabadikannya sebagai sabda). Dan telapak tanganku, telapak tanganku yang seluas hamparan bumi, selalu terbuka untuk dia dan sebuah pesawat kertas yang hendak membumi. Ketika mereka telah payah dihajar hari. - Aan Mansyur
Diputer, dijilat, dicelupin
|
Sang Putri Malu
Ingatkan kita pada masa lalumu. Diantara semak yang terasingkan. Bersama mekar di antara gigilnya kegelapan. Tersapu gigilnya kemunafikan. Kala tersentuh, pesona itu hilang, mengernyitkan dahi, tak percaya pada dunia. Kitalah sang putri malu, bisu tapi berduri, terluka dan tersakiti, oleh mereka, dunia yang tak memiliki mata. Lihatlah kami, tersudut oleh zaman. Terhinakan karma, tersudutkan mata-mata: kosong tak bernyawa. Hidup diantara jarak, meringkuk di antara kebencian, mati tak terhiraukan, tiada tanpa nama, meninggalkan luka di jari mereka, tersentuh oleh kita: yang terlupakan dunia.
RETIRED
|
setuju deh pengalaman yang uhuy
Don't mix between my
|
Emejing.....
Pandai kali kau nak merangkai kata...
Tak henti-hentinya aku mengagumi tulisanmu...
Sent from Taplak